Pertahanan dan keamanan negara
pada milenium ketiga
Milenium ketiga ditandai dengan berbagai fenomena fundamental yang mengubah wacana politik, keamanan dan pertahanan. Fenomena itu adalah perkembangan teknologi, gelombang demokratisasi, interdependensi hubungan antar bangsa. Dengan globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antarnegara, dan secara berarti mengubah gravitas politik domestik negara-negara. Apa yang selama ini dimengerti sebagai ke[tidak]amanan, sebagai aras pertemuan antara hubungan antarnegara dan dinamika yang terjadi dl dalam suatu negara, mengalami transformasi luarbiasa. Pertahanan adalah salah satu unsur dari keamanan. Akibatnya, ketika struktur dan proses yang terlibat dalam interaksi keamanan itu memerlukan kajiulang demikian pula halnya dengan pertahanan. Sistem pertahanan, organisasi pertahanan, dan pertanggungjawaban kebijakan pertahanan merupakan masalah-masalah dasar yang memerlukan pemikiran mendalam.
Keamanan merupakan istilah yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana "bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan". Dalam kajian tradisional, keamanan lebih sering ditafsirkan dalam konteks ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal: "suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang diaggapnya penting (vital) ...dan jika dapat menghindari perang atau, jika terpaksa melakukannya, dapat keluar sebagai pemenang. Karena itu, seperti kemudian disimpulkan Arnord Wolfers, masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan. Dengan semangat yang sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopaedia of the Social Science mendefinisikan keamanan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar".
Nexus military-external, dengan negara sebagai subyek, sangat dominan, dalam pendekatan Barat mengenai ke[tidak]amanan. Dalam konsepsi-konsepsi tersebut kekuatan militer selalu dianggap sebagai unsur yang paling penting. Definisi semacam itu dapat dimengerti, terutama dengan mengingat sejarah pembentukan negara-negara Barat yang berangkat dari konsepsi Westpha1ian tentang ‘negara-bangsa’ (nation-state). Hanya sebagian kecil dari mereka yang masih menghadapi persoalan fundamental mengenai formasi dan institusi pengorganisasian negara. Bahkan dalam kasus seperti Quebec di Kanada, upaya untuk meneguhkan identitas kenegaraan dilakukan dengan cara non-kekerasan (non-violent). Konstitusi Soviet, dan kemudian Rusia, mengakui hak pemisahan diri secara damai.
Sebaliknya, dalam konteks negara-negara berkembang definisi itu sukar seluruhnya diterima. Tidak seperti negara-negara Barat yang lebih maju, peninggalan kolonial (colonia11egacy) menyebabkan sebagian dari mereka terlebih dahulu berhasil membentuk negara sebelum berhasil membangun bangsa, sehingga dalam banyak kasus, mereka menghadapi sekaligus tugas ganda bina-bangsa (nation-building) dan bina-negara (state-building). Upaya itu tentu merupakansebuah proyek besar; dan keamanan lebih banyak berkaitan dengan dimensi politik daripada militer.
Pertanyaan paling relevan dalam konteks itu adalah “keamanan terhadap apa, oleh siapa, dan untuk siapa”. Sebagai negara yang dibangun di atas reruntuhan kolonial, dan akibatnya seringkali menghadapi masalah penarikan garis batas arbitrer yang melintasi pembelahan tradisional (suku, agama dan unsur parokia1is lainnya), negara adalah instrumen untuk bina-bangsa. Pluralitas sosial dan kultural menyebabkan negara-negara itu merupakan suatu entitas yang oleh Anderson disebut imagined community. Loya1itas kepada negara bisajadi merupakan prioritas yang lebih rendah dari loyalitas kepada masyarakat tradisionalnya; dan memba1ik prioritas itu bukan merupakan soal sederhana. Tak jarang terjadi konflik kepentingan antara loyalitas kepada masyarakat atau kepada negara. Domain dan scope kekuasaan negara menjadi terbatas. Pemerintah, sebagai perwakilan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan negara, memiliki keharusan untuk memenuhi elemen “kenegaraan yang memadai” (adequate stateness), terutama bagaimana menciptakan perimbangan antara kemampuan menggunakan kekerasan (coercive capacity), kekuatan infrastruktural (infrastructural power), dan legitimasi tanpa-syarat (unconditional legitimacy).
Kerap kali situasi itu menimbulkan masalah serius. Di satu sisi, diperlukan mobilisasi resources dan kecanggihan politik tertentu untuk bisa mempertahankan diri sebagai suatu entitas politik yang diterima dan diakui sebagai entitas yang memiliki otoritas atas rakyatnya. Di lain pihak, seringkali hal ini juga menjadikannya vulnerable terhadap tekanan pihak luar (negara yang lebih besar, lembaga-lembaga internasional dan transnasional), kelompok separatis dan gerakan supranasional. Sebagai negara yang selalu dilibat masalah binanegara, dan sebagai pendatang baru dan lemah dalam masyarakat internasional, security problematicue mereka adalah bagaimana memantapkan kenegaraannya dan seka1igus memainkan peran tertentu dalam masyarakat internasional.
Ancaman yang dihadapi oleh negara-negara berkembang jauh lebih majemuk dibanding yang harus dihadapi negara-negara maju. Selain menghadapi ancaman luar terhadap wilayahnya, sebagian besar negara-negara berkembang menghadapi tantangan untuk memantapkan bangunan negara. Ketika, seperti dikemukakan sebelumnya, ancaman luar bukan satu-satunya ancaman atau dalam kasus sebaliknya menyangkut wilayah-wilayah yang non-defendable, dan ketika legitimasi kepemimpinan politik lebih banyak disandarkan pada kontrak sosial yang secara reguler dipertanggujawabkan melalui pemilihan umum, ketika itu “keamanan untuk siapa” (whose security) menjadi persoalan yang relevan. Dalam konteks ini, beberapa pengamat menuntut pembedaan antara keamanan negara, regime, societal, dan/atau individual. Upaya belanegara seringkali mengalami penyempitan arti menjadi bela regime dan/atau bela pemerintahan. Komplikasi pertama bagi konsep keamanan adalah bahwa belanegara seringkali harus dilakukan dengan tindakan-tindakan yang secara moral bertentangan dengan perlindungan bagi masyarakat. Upaya untuk “menjaga ketertiban dan melindungi keamanan negara” seringkali harus dilakukan justru dengan kebijakan yang bertentangan dengan semangat “menciptakan kesejahteraan dan melindungi kepentingan rakyat”.
Komplikasi kedua berasal dari diskursus kontemporer yang memberikan definisi keamanan secara fleksibel dan longgar, dengan memasukkan unsur dan perspektif yang tidak terdapat dalam diskursus tradisional. Bagi Caroline Thomas dan Jessica Mathews, misalnya, keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut realitas global. Keamanan, menurut Thomas dan Mathews,bukan hanya terbatas pada dimensi militer, seperti sering diasumsikan dalam diskusi tentang konsep keamanan, tetapi merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan eksistensi negara ...[termasuk di dalamnya] upaya memantapkankeamanan internal melalui bina-bangsa, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, uang dan perdagangan, maupun melalui pengembangan senjata nuklir.
Dalam diskursus keamanan kontemporer banyak dimensi yang kemudian diperbincangkan dalam rubrik keamanan non-militer, atau non-konvensional (non-conventional threat). Kajian-kajian baru yang kemudian muncul dalam diskursus kontemporer adalah, antara lain, keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security).
Selain itu, dalam diskursus kajian perdamaian (peace studies), dikenal pembedaan antara konsep perdamaian membedakan “perdamaian negatif” (negative peace) dari “peraamaian positif” (positive peace). Konsep pertama, perdamaian negatif, semata-mata concern dengan tidak adanya perang. Pendekatan keamanan (security approach) sangat dominan dalam kajian ini. Doktrin pertahanan dan penangkalan, dengan kekuatan militer sebagai penyangga utama keamanan, menjadi pijakan utama. Dalam konsep kedua, perdamaian positif, yang didefinisikan sebagai tidak adanya kekerasan dan ketidakadilan, kekuatan militer memang bukan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menjawab ancaman. Kemampuan mi1iter hanya satu dari berbagai unsur kemampuan nasional yang bisa berasal dari kekuatan ideologi, ekonomi, politik atau yang lain. Dipercaya bahwa demokrasi berkeadilan (democratic justice) merupak:an pendekatan pokok untuk mengatasi ketidakamanan.
Titik temu antara diskursus kontemporer dan tradisional itu adalah kedaulatan (sovereignty). Namun konsep kedaulatan tersebut kini menghadapi tantangan yang sangat serius. Fenomena globalisasi yang digambarkan dalam berbagai istilah (mulai dari transnational-scene hingga global oukumene) merujuk pada gejala luluhnya tapalbatas (boundary eroding). Kedaulatan menjadi sesuatu yang sangat relatif. Beberapa penemuan di bidang teknologi militer dan komunikasi telah secara berarti mengikis dimensi ruang dan waktu. Dimensi geografis mengalami kontraksi; dan waktu yang diperlukan untuk mengantisipasi ancaman (early warning) menjadi semakin pendek. Berbagai bentuk ancaman, militer maupun non-militer, mempunyai dayatembus (penetrability) yang semakin besar. Difusi ide-ide baru dan muncu1nya senjata-senjata berteknologi tinggi, khususnya yang termasuk dalam wilayah kelabu (grey areas), memperkuat sosoknya sebagai unchallangable threats. Di bidang militer, perbedaan antara senjata defensif dan ofensif menjadi semakin kabur . Miniaturisasi hulu ledak adalah peningkatan dayatahan (defensif) karena dengan demikian mempermudah upaya concealment. Pada saat yang sama, miniaturisasi hululedak juga berarti peningkatan manuverabilitas dan oleh karenanya kemampuan ofensif.
Terlebih lagi, globalisasi menimbulkan berbagai paradox. Ketika lalulintas investasi, komoditi, dan modal merupakan gejala kapitalisme global yang menembus batas-batas antarnegara, parokialisme justru menguat di berbagai belahan bumi. Gaung retrogresi Taliban Afghanistan di negara-negara Asia
Tengah hanyalah contoh paling kontemporer yang dapat disebut untuk menunjukkan betapa agama, dan mungkin juga nilai-nilai parokial yang lain seperti etnisitas, merupakan dimensi yang seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan negara (statecraft). Melalui revolusi teknologi informasi dan komunikasi, parokialisme itu sendiri kini menjadi semacam kekuatan global. Persistensi separatis Irlandia dan Tami1, radikalisasi Hammas dan Yahudi Orthodox di Timur Tengah serta militansi pemberontakan petani Chiapas di Mexico Selatan, eksplosi gerakan mahasiswa di Seoul dan Bangkok dengan mudah dapat menimbulkan demonstration effect di tempat-tempat lain. Otoritas pemerintah dan institusi negara semakin terancam. State-building dan nation-building menghadapi tantangan yang semakin serius, dan defisit keamanan (security deficit), yaitu selisih antara kemampuan nasional untuk menegakkan legitimasi dan otoritas dengan penetrabilitas ancaman.
Postulat pertama adalah bahwa tuntutan atas keamanan komprehensif (comprehensive security), telah menambah komplikasi baru dalam nexus keamanan internal-external. Keamanan adalah bebas dari berbagai bentuk bahaya, kecemasan, dan ketakutan, termasuk bebas dari kemungkinan perang (perdamaian negatif) maupun dari ketimpangan struktural dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya (perdamaian positif). Solusi bagi persoalan ganda yang bersumber pada aras konseptual dan dimensional itu tidak akan pernah dapat diselesaikan tanpa lebih dulu membatasi diri mengenai apa yang harus dibicarakan. Membahas dan memahami keamanan dari sudut menyeluruh (comprehensive) tentu sangat bermanfaat untuk memahami kompleksitas masalah, tetapi seka1igus juga mencampuradukkan berbagai solusi terhadap masalah itu. Selain itu the level of threat dimensi-dimensi itu tidak selalu harus sama. Hampir tidak mungkin menggunakan konsep yang terlalu elastik itu sebagai alat analitikal. Tanpa bermaksud mengurangi arti penting pembahasan yang menekankan pada society-centric model, ketika keamanan individual dan communal menjadi faktor dalam kalkulus keamanan, keamanan nasional tetap dapat didefinsikan secara state-centric, dengan negara sebagai unit politik yang pa1ing penting.
Security Deficit, Threat Assessment and Vulnerability
Seperti terlihat dari penggal “ancaman terhadap keamanan”, keamanan dan ancaman merupakan dua konsep interaktif. Terdapat hubungan terbalik antara keduanya, bahwa meningkatnya ancaman dengan sendirinya menurunkan derajat keamanan. Selain itu hendaknya dipahami bahwa yang paling penting adalah “deficit keamanan” (security deficit), yaitu situasi dimana ancaman terhadap keamanan lebih besar dari kemampuan nasional untuk menghadapi ancaman itu. Kemampuan nasional (nationa1 capability) adalah selisih antara, derajat ancaman dan derajat kerawanan. Kerawanan mempunyai dua dimensi, dimensi eksternal adalah ancaman dan dimensi internal adalah ketahanan. Resilience (ketahanan) mencoba mengaitkan keduanya. Suatu perkiraan ancaman yang rasional akan menggunakan konsep defisit keamanan itu dengan memperhitungkan faktor subyektif dan obyektif.
Postulat kedua adalah bahwa, sekalipun keamanan bersifat komprehensif, namun ada unsur tertentu yang lebih relevan untuk dipersoalkan sebagai perkiraan ancaman. Harus dibedakan antara ancaman langsung dan tidak langsung baik yang berasal dari dalam maupun luar, serta antara ancaman inferensial. Dikotomi langsung-tidaklangsung berkaitan dengan dampak sumber ancaman terhadap dimensi ancaman, sedang dikotomi inferensial bisa terhadap dimensi yang lain. Sebagai contoh adalah ancaman militer terhadap keamanan militer, dan oleh karenanya dimensi pertahanan negara. Ancaman ekonomi terhadap keamanan ekonmi termasuk dalam kategori ini pula. Namun ancaman ekonomi terhadap dimensi pertahanan negara, misalnya, hanya bersifat inferensial.
Security deficit, sebagai selisih antara kemampuan nasional dan penetrabilitas ancaman. Tiga kekuatan besar yang mempengaruhi asessment ini adalah globalisasi, perkembangan teknologi, dan interdependensi. Implikasi globalisasi terhadap keamanan menjadi sedikit jelas jika security ditafsirkan sebagai situasi di mana aktor mampu melindungi segala sesuatu yang menjadi preferensi dan otoritasnya serta mempunyai kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan preferensinya dalam mencapai apa yang dianggapnya sebagai core interest: system preservation dan maintenance. Da1am praktek, hal ini mewujudkan dirinya dalam beberapa bentuk, mulai dari melindungi otoritas (teritorial dan politik), sampai meningkatkan peran internasional. Namun kedau1atan menjadi semakin absurd; dan apa yang selama ini dirumuskan sebagai “keamanan nasional” menurut konsep Westphalian, dengan kedaulatan atas wilayah geografis sebagai unit politik utama, menghadapi tantangan sangat serius.
Barry Buzan mencoba menawarkan dua kriteria pokok, yaitu landasan fisik dan landasan institusional. Menurut Buzan, physical based of the state meliputi penduduk dan wilayah serta segenap sumberdaya yang terletak di dalam lingkup otoritas teritorialnya; institutional based of the state meliputi semua mekanisme kenegaraan, termasuk lembaga legislatif dan eksekutif maupun ketentuan hukum, prosedur dan norma kenegaraan. Keamanan nasional identik dengan “keamanan negara” yang kemudian ditafsirkan sebagai kepemimpinan politik serta segenap pranata penopang kehidupan bernegara (landasan ideologi negara, konstitusi dan lembaga-lembaga tinggi negara).
Bisa dimengerti jika source of threat bisa internal, eksternal atau azymutal. Namun ada instrumen yang efektif untuk menghadapi satu sumber ancaman belum tentu efektif untuk menghadapi ancaman yang berasal dari sumber yang lain. Masalah-masalah internal sepantasnya dihadapi bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan pembangunan ekonomi, rekayasa kultural, institusionalisasi partisipasi politik, dan pencarian ideologi baru yang melintasi batas-batas aliran parokialisme. Perangkat-perangkat lunak keamanan (security software) seperti ini merupakan instrumen pokok untuk legitimasi politik dan kohesi sosial. Elemen demokrasi, dalam aras ekonomi, politik maupun kultural, harus menjadi sandaran pokok upaya seperti itu. Tujuan utama adalah untuk menciptakan keadilan.
Sumber ancaman (source of threat) terhadap apa yang selama ini dikenal sebagai “keamanan nasional” menjadi semakin luas, bukan hanya meliputi ancaman dari dalam (internal threat) dan/ atau luar (external threat) tetapi juga ancaman azymutal yang bersifat global tanpa bisa dikategorikan sebagai ancaman luar atau dalam. Seirama dengan itu, watak ancaman (nature of threat) juga berubah menjadi multidimensional. Ancaman menjadi semakin majemuk, dan tidak bisa semata-mata dibatasi sebagai ancaman militer. Ideologi, politik, ekonomi dan kultural merupakan dimensi yang tetap relevan diperbincangkan.
Kepemimpinan politik mempunyai kewajiban yang besar untuk menjaga keseimbangan antara tuntutan globalisasi kejadian lokal (globalizing local dynamics) dan lokalisasi peristiwa global (localizing global dynamics). Interdependensi kehidupan antar negara telah menyebabkan keputusan nasional tidak dapat mengabaikan situasi eksternal. Salah satu contoh adalah berkembangnya gagasan tentang “domestic intervention”, yang kemudian mengalami eufimisme dengan istilah intervensi konstruktif (constructive intervention) atau “perluasan hubungan” (enhanced interaction), dan berbagai persyaratan politik yang menyertai sebagian besar paket bantuan bilateral maupun multilateral ke negara-negara berkembang. Ruanglingkup kedaulatan menjadi semakin terbatas. Dan di dalam lingkup yang semakin sempit itu, seringkali masih terdapat wilayah yang non-defendable terhadap penetrasi ancaman.
Persoalan lebih penting dari identifikasi ancaman adalah memperkirakan “derajat ancaman” (the degree of threat). Rea1isme dalam perkiraan ancaman itu beranjak dan konsepsi bahwa derajat ancaman adalah deficit antara penetrabilitas (magmtude dan intensity) ancaman dengan kapabilitas (vulnerabilitas dan capability) negara. Kemampuan untuk menghadapi semua itu bukan hanya bertolak dari kemampuan militer, tetapi juga kemampuan element of national power yang lain, termasuk kekuatan organisasional (efektifitas komando dan postur pertahanan). Organisasi dan manajemen serta rantai komando dan akuntabilitas, dan oleh karena itu kewenangan yang jelas antar satuan-satuan keamanan. Harus membedakan dengan jelas tujuan emansipatorik yang terutama dilakukan dalam konteks otoritas teritorial negara bangsa dari tujuan survival against immediate threat yang lebih banyak berkaitan dengan ancaman luar.
Harus dibedakan dengan jelas antara “pertahanan” (defense) dan “keamanan” (security). Segenap aparat pemerintahan (kabinet) bertanggungjawab untuk keamanan; sedangkan militer bertangunggungjawab untuk merumuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan operasi dan taktik pertahanan. Harus didefinsikan dalam konteks vulnerabilitas terhadap internal maupuneksternal yang mengancam atau memiliki potensi untuk memperlemah struktur (teritorial dan institusional) negara dan government regime. Komponen lain, baik ekonomi, ekologikal atau yang lain, hanya akan menjadi bagian integral dari keamanan jika mereka menjadi cukup akut dan terkristalisasi menjadi dimensi politik dan mengancam tapalbatas, institusi negara maupun pemerintahan.
Kekuatan militer adalah satu-satunya unsur di mana prinsip penangkalan dan pertahanan dapat digunakan dengan cermat. Penangkalan militer: kemampuan militer (organisasional dan hardware) untuk menangkal berbagai spektrum ancaman militer pihak luar yang mengancam keutuhan teritorial. Instrumen untuk itu adalah diplomasi untuk membangun sistem kerjasama keamanan yang appropriate dan usaha unilateral untuk melakukan adaptasi doktrinal dan modernisasi kekuatan militer. Strategi: ofensif (mendahului) dan defensif (menyerap kekuatan lawan). Hampir tidak mungkin menggunakan kekuatan kekerasan untuk mempertahankan diri dari gempuran sosial, kultural dan ekonomi dari luar. Maksimal yang dapat dilakukan adalah melindungi potensi ekonomi dan teritori kultural serta sosial. Elemen pokok , tetap wilayah.
National Security. Defense and Defense Dilemma
Perkembangan teknologi, interdependensi merupakan dua gejala utama yang menyebabkan dilema keamanan ini menjadi semakin mungkin harus dihadapi oleh negara-negara yang merancang untuk mengembangkan kemampuan militemya. Defense planning, khususnya sejauh menyangkut doktrin perang dan strategi tempur, harus memperhatikan prinsip bahwa kekuatan militer harus melindungi ancaman terhadap keamanan nasional yang, berasal dari unfair threat of force. Memang, sejarah mencatat berbagai peristiwa ketika kekuatan militer digunakan untuk melindungi keamanan ideologi, politik, ekonomi dan kultural dari ancaman kekerasan. Pertempuran antara pasukan Yunani Kuno menghadapi pasukan Persia di medan laga Marathon dan Salamis, orang-orang Prancis dan pasukan Moslem di France at Tours (tahun 732), pengepungan kota Vienna oleh pasukan Ottoman (tahun 1683), maupun tumbangnya Fascisme Eropa dalam Perang Dunia Kedua. Namun semua itu berlangsung dalam konteks ketika negara adalah suatu self-contained and self-reliant entity dalam elemen-elemen politik, ekonomi, kultural; dan ketika tujuan penggunaan kekerasan, termasuk kekuatan militer, adalah mempertahankan otoritas domestik dari gangguan atau serangan luar.
Kita menghadapi soal serius. Di satu pihak, keamanan nasional menghadapi berbagai spektrum ancaman. Di lain pihak, militer hanya merupakan salah satu kekuatan nasional, yang bersama dengan kemampuan lain membentuk kemampuan nasional (national capability). Pemikiran yang tepat, peyusunan konfigurasi yang tepat merupakan tantangan pokok. Hierarki dan prioritasi ancaman oleh karenanya menjadi penting. Dikotomi eksternal-internal tetap relevan dipertahankan. Tanpa bermaksud mengurangi makna ancaman internal, yang seperti dikemukakan pada bagian lain tulisan ini lebih sesuai dihadapi dengan prinsip-prinsip emansipasi demokratik, ancaman luar harus menjadi pijakan utama. Tentu, bersama dengan itu harus diakui pula bahwa kemenyeluruhan (comprehensiveness) senantiasa diperhitungkan dalam penyusunan prioritas.
The level of threat, misalnya, kemudian menjadi elemen pokok dalam perencanaan. Ancaman militer dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pa1ing ekstrim adalah serangan dan pendudukan, baik dengan tujuan untuk memusnahkan suatu negara, untuk merebut atau menguasai wilayah (perang Prancis-Jerman tahun 1870), maupun mengubah institusi kenegaraan (seperti dilakukan sekutu pada Perang Dunia II terhadap Jerman dan Jepang). Bentuk yang lebih moderat bisa disebabkan oleh keinginan untuk menghukum (punishment), tanpa pendudukan dalam jangka waktu relatif lama, seperti dilakukan Cina terhadap Vietnam pada awal tahun 1979. Di luar kedua bentuk itu masih dapat dilihat bentuk-bentuk ancaman militer terhadap wilayahnegara, seperti non-recognition atau menutup akses. Kekuatan 1aut pada umumnya sangat memainkan peranan penting pada dua kategori terakhir ini.
Seperti halnya ancaman militer, ancaman ideologi dan atau politik dapat muncul dalam berbagai bentuk. Suatu negara mungkin menghadapi ancaman politik dalam bentuk tekanan tertentu untuk mengubah tujuan, bentuk atau struktur institusi-institusi politiknya. Dalam bentuk yang paling ekstrim, ancaman politik ini terutama terjadi jika terdapat perbedaan organizing principle antar negara yang antagonistik. Apa yang dilakukan oleh Libya dan Suriah terhadap beberapa pemerintahan moderat di Timur Tengah (Libanon,Yordan) dan Amerika terhadap rejim-rejim radikal di Amerika Latin dan Karibia (Kuba, Chile, Guatemala, Haiti). Dalam bentuk yang lebih lunak, persyaratan politik yang menyertai segenap bantuan bilateral dan multilateral, mungkin dapat dikategorikan sebagai ancaman politik. Setelah berakhirnya persaingan ideologi kapitalisme-sosialisme, dan ketika ekonomi pasar semakin diterima sebagai menjadi organizing principle, potensi persaingan sistemik di Asia Pasifik kelihatannya tinggal kedua Korea yang masih memenuhi kriteria ini.
Ancaman luar yang tidak kalah penting adalah ancaman ekonomi. Namun berlainan dengan ancaman politik dan militer dari luar, ancaman luar-ekonomi ini agak sukar didefinisikan dengan jelas. Negara hanya merupakan salah satu aktor, yang semakin menurun, dalam kegiatan ekonomi nasional. Kompetisi, dan oleh karenanya juga konflik, memang merupakan sesuatu yang inheren dan natural dalam berbagai aktifitas ekonomi. Selain itu, beberapa gejala kontemporer lebih menyerupai dinamika ekonomi normal daripada benar-benar merupakan ancaman dalam pengertian yang tradisional, baik untuk menguasai wilayah maupun untuk mengubah institusi-institusi negara. Tidak mungkin bisa dijawab dengan memuaskan apakah krisis ekonomi merupakan konspirasi untuk menghancurkan negara Indonesia, atau semata-mata merupakan konsekuensi yang tidak dapat dielakkan dari dinamika ekonomi kontemporer dan penataan ekonomi Inaonesia yang rapuh.
Ekonomi jelas merupakan masalah keamanan nasional yang sangat penting dan mempengaruhi domestic stability, khususnya bagi negara-negara yang kehidupan ekonominya tergantung pada pasokan import bahan baku dan energi,dan/atau perdagangan. Sekalipun demikian, sukar untuk mengatakan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional ini mempunyai implikasi langsung dengan kelangsungan hidup negara. Embargo, pembatasan ekspor, manipulasi harga, penghentian hutang mungkin saja untuk jangka pendek menimbulkan dislokasi sosial, tetapi untuk jangka panjang mungkin membawa konsekuensi positif bagi perkembangan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, ancaman ekonomi luar-bersifat ambiguous, serta tidak memenuhi kriteria cross-boundary, dan pada saat yang sama juga tidak memenuhi kriteria penggunaan kekerasaan. Ancaman ekonomi mungkin baru bisa mempunyai implikasi militer, misalnya jika loss of material itu pada akhirnya akan menyebabkan menyusutnya anggaran atau menutup pasokan logistik yang diperlukan untuk pengembangan atau operasi militer.
Kajian keamanan mengenal dua istilah penting, dilemma keamanan (security dilemma) dan dilemma pertahanan (defence di1emma). Istilah yang pertama, dilema keamanan, menggambarkan betapa upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya dengan mempersenjatai diri justru, dalam suasana anarki internasional, membuatnya semakin rawan terhadap kemungkinan serangan pertama pihak lain. Istilah kedua, dilema pertahanan, menggambarkan betapa pengembangan dan penggelaran senjata baru maupun aplikasi doktrinal nasional mungkin saja justru tidak produktif atau bahkan bertentangan dengan tujuannya untuk melindungi keamanan nasional. Berbeda dari dilema keamanan yang bersifat interaktif dengan apa yang [mungkin] dilakukan pihak lain, dilema pertahanan semata-mata bersifat non-interaktif, dan hanya terjadi dalam lingkup nasional, terlepas dari apa yang mungkin dilakukan pihak lain.
Dilema pertahanan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Pertama adalah hilangnya relevansi kekuatan senjata untuk mencapai tujuan nasional tertentu. Dalam situasi meningkatnya interdependensi, misalnya, suatu negara cenderung untuk menahan diri menggunakan senjata karena hal itu, jika dilakukannya, akan harus membayar mahal, misalnya berupa isolasi internasional. Perdagangan dan investasi mungkin merupakan sesuatu yang vital bagi keamanan nasional suatu negara. Namun hampir tidak mungkin membayangkan suatu negara melakukan tindakan kekerasan (baca: millter) untuk, misalnya meningkatkan ekspor. Globalisasi dan diseminasi ide-ide baru bisa jadi “membahayakan” nilai dasar tertentu yang diakui sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, seperti halnya dalam kasus ekonomi, tindakan kekerasan bukan merupakan cara yang relevan untuk menghadapi gelombang globalisasi.
Kedua, dilema pertahanan juga bisa terjadi jika senjata perkembangan di bidang teknologi modern menjadikan strategi ofensif jauh lebih menguntungkan dibanding strategi defensif. Munculnya jenis-jenis persenjataan modern, seperti pesawat pembom jarakjauh, pesawat stealth, miniaturisasi hululedak, dan teknik pengendalian rudal adalah beberapa contoh dalam kategori ini. Senjata-senjata seperti itu dapat sangat efektif, dan seringkali dapat memiliki daya musnah luarbiasa tanpa harus mengalahkan lawan. Senjata-senjata seperti ini bukan hanya memaksa pemiliknya melakukan serangan pertama, tetapi juga menjadikan sistem pertahanan tradisional yang dirancang untuk perang konvensional tidak lagi efektif. Keamanan nasional, oleh karenanya, memerlukan adaptabilitas yang tinggi dalam bidang doktrin maupun pengembangan sistem persenjataan.
Bentuk ketiga dari dilema pertahanan dapat terjadi jika penggunaan senjata didasarkan pada pemikiran yang tidak konsisten, atau malahan bertentangan, dengan upaya untuk melindungi keamanan nasional. Dilema ini dapat berupa kehancuran ekonomi, ataupun dislokasi sosial dan politik, yang ditimbulkan oleh mobilisasi sumberdaya di luar kemampuan dan kebutuhan nasional. Ia dapat pula berupa kehancuran tanpa batas. Doktrin kehancuran bersama (mutual assured destruction), misalnya, menunjukkan betapa upaya mencegah perang justru dilakukan dengan ancaman menimbulkan korban yang luarbiasa besar di pihak lawan, yang secara moral bertentangan dengan upaya untuk melindungi species manusia. Dilema pertahanan dalam jenis ini terutama timbul karena perkembangan teknologi canggih tidak mustahil dapat meredusir tujuan militer sedemikian hingga “general threat of destruction”, adalah satu-satunya logika untuk melindungi keamanan nasional.
Redifinisi Doktrin, Pembagian Wewenang dan Strategi Pertahanan
Threat, survival dan defence dilemma itu membawa implikasi serius. Pesan yang hendaknya digarisbawahi adalah penggunaan eksesif dari resources tidak boleh. Penggunaan kekerasan untuk menghadapi ancaman harus sepadan. Ancaman tertentu harus dihadapi dengan instrumen tertentu yang sesuai, efektif, efisien, dan tidak menimbulkan dislokasi sosial, ekonomi, politik, ideologi. Security deficit yang timbu1 karena vu1nerabilitas membawa kompleksitas tersendiri. Semuanya bermuara pada satu persoalan besar: perlunya kajiulang terhadap doktrin keamanan dan pertahanan nasional, khususnya sejauh menyangkut “apa yang harus dipertahankan”, “bagaimana untuk mempertahankannya”, dan “siapa yang harus memikul tanggungjawab” itu.
Jawaban atas pertanyaan pertama, apa yang harus dipertahankan, memerlukan suatu kesepakatan politik. Pertimbangan historis, geografis, ideologis dan perkembangan politik kontemporer harus dimasukkan dalam kalkulasi itu. Gravitas hubungan antarnegara pada dinamika ekonomi tidak sepenuhnya menghapus relevansi konteks politik geostrategi. Bagi sebuah negara kepulauan, termasuk Indonesia, melindungi keamanan nasional adalah usaha besar untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan maritim berikut sumberdaya yang berada di dalamnya.
Pada tingkat strategi, bagaimana mempertahankan dari ancaman, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana merumuskan ancaman secara lebih realistik. Untuk waktu yang dapat diperhitungkan ke depan, keamanan terhadap ancaman interna1 masih akan mendominasi pemikiran strategis di Indonesia. Pluralisme sosial, ketimpangan ekonomi, disparitas regional menjadikan upaya bina-bangsa dan bina-bangsa menjadi soal serius. Indonesia adalah suatu entitas politik (negara) yang dibangun di atas fondasi pluralitas. Persatuan Indonesia seperti diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 1928, selama ini lebih direkat oleh common history anti-kolonia1isme. Common history menghadapi kolonialisme kelihatannya perlu dijelmakan dalam wujud yang lebih konkret, misalnya common platform dan komitmen untuk menegakkan keadilan sosia1, dan dengan menggunakan instrumen yang lebih appropriate seperti ketentuan hukum yang demokratik.
Di tengah keharusan untuk mempersiapkan diri terhadap keamanan internal, ancaman militer dari luar merupakan sesuatu yang harus selalu diperhitungkan, sekalipun pada saat yang sama harus diakui pula bahwa untuk beberapa tahun yang dapat diperhitungkan ke depan sukar dibayangkan terjadinya perang dalam pengertian tradisional. Menduduki wilayah asing (occupation) menjadi sesuatu yang secara moral memperoleh gugatan semakin tajam dan secara ekonomis semakin mahal. Konflik bersenjata, jika harus terjadi, kemungkinan besar akan bersifat terbatas, berlangsung dalam waktu singkat, dan menggunakan teknologi tinggi. Amerika Serikat diperkirakan tetap memainkan peranan penting di kawasan Asia Pasifik, baik karena potensi ketidakstabilan di semenanjung Korea, hubungan tradisionalnya dengan Jepang dan Korea Selatan, kekhawatirannya terhadap tampilnya Cina sebagai kekuatan hegemon regional, maupun karena kepentingan ekonominya di kawasan ini. Ancaman militer dari luar terhadap Indonesia kelihatannya akan bersifat ancaman tidak langsung yang terjadi karena ketidakstabiIan regional. Termasuk dalam kategori ini adalah perlombaan senjata yang dapat terjadi karena ketidakstabilan di Semenanjung Korea dan Asia Timur, prospek penyelesaian masalah Taiwan, dan kemungkinan konf1ik tapalbatas.
Masalah pokok, seperti dirumuskan sebagai pertanyaan ketiga, adalah apa cara yang paling efektif dan efisien untuk menghadapi sumber dan watak ancaman-ancaman tertentu. Ancaman internal harus diketahui dengan pasti alasan timbulnya. Gagasan-gagasan, termasuk komunisme dan fundamentalisme religius, tidak pernah secara langsung mempengaruhi tindakan [kekerasan] politik. Menghilangkan deprivasi ekonomi, politik dan kultural. Demokratisasi dalam penggunaan dan pengelolaan sumberdaya, dan distribusi pembangunan. Penghormatan pada budaya lokal. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan yang seharusnya ditafsirkan sebagai komitmen untuk menghormati keragaman, bukan untuk menciptakan keseragaman. Upaya nasional, unilateral, adalah demokratisasi. Pengenda1ian dan resolusi konflik seharusnya semata-mata dilakukan sebagai tindakan polisionil.
Sejauh menyangkut ancaman militer dari luar, tidak diragukan bahwa peningkatan kemampuan militer (modernisasi dan profesionalisasi) merupakan sa1ah satu pilihan. Namun, selain karena pertimbangan ekonomi, peningkatan kekuatan militer selalu mengundang kecurigaan pihak 1ain, terutama jika hal itu dilakukan dengan lebih banyak memberikan prioritas pada modernisasi senjata-senjata ofensif. Dalam suasana anarki dan ketidakpastian, upaya unilateral bisa menimbulkan dilema keamanan (security dilemma) terutama jika upaya unilateral itu berupa penggelaran jenis senjata- senjata ofensif baru. Pengembangan kekuatan militer yang mengarah pada non-provocative defense merupakan salah satu pilihan strategis. Selain itu, di tengah gelombang interdependensi dalam kehidupan antarbangsa, suatu negara tidak bisa mengamankan dirinya dengan mengancam orang lain. Upaya untuk membangun keamanan, oleh karenanya, bergeser dari konsep “security against” menjadi “security with”. Apa yang selama ini dikenal sebagai cooperative security, confidence building measures, dan preventive diplomacy yang dilakukan secara bilateral, regiona1, global, maupun multilateral adalah sebagian dari berbagai upaya menjawab persoalan ini.
kesimpulan:
Demokrasi adalah suatu sistem yang bertumpu pada pembagian kekuasaaan (sharing of power) dan/atau pembagian tanggungjawab (sharing of responsibility). Persoalan siapa yang harus bertanggungjawab untuk menjawab ancaman keamanan tertentu menjadi rumit dan politikal: rumit, karena perkembangan konsep dan ketidapastian setelah berakhirnya Perang Dingin dan politikal, karena landasan konstitusiona1, sejarah, maupun realita politik bisa menjadi kekuatan inersia untuk membangun pola pembagian kerja baru. Salah satu konsekuensi penting adalah perlunya ketentuan yang mengatur level of engagement dan instrumen yang boleh digunakan dalam setiap bagian dari spektrum ancaman terhadap keamanan nasional.
pada milenium ketiga
Milenium ketiga ditandai dengan berbagai fenomena fundamental yang mengubah wacana politik, keamanan dan pertahanan. Fenomena itu adalah perkembangan teknologi, gelombang demokratisasi, interdependensi hubungan antar bangsa. Dengan globalisasi sebagai impuls utamanya, fenomena itu telah memporakporandakan kerangka lama hubungan antarnegara, dan secara berarti mengubah gravitas politik domestik negara-negara. Apa yang selama ini dimengerti sebagai ke[tidak]amanan, sebagai aras pertemuan antara hubungan antarnegara dan dinamika yang terjadi dl dalam suatu negara, mengalami transformasi luarbiasa. Pertahanan adalah salah satu unsur dari keamanan. Akibatnya, ketika struktur dan proses yang terlibat dalam interaksi keamanan itu memerlukan kajiulang demikian pula halnya dengan pertahanan. Sistem pertahanan, organisasi pertahanan, dan pertanggungjawaban kebijakan pertahanan merupakan masalah-masalah dasar yang memerlukan pemikiran mendalam.
Keamanan merupakan istilah yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana "bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan". Dalam kajian tradisional, keamanan lebih sering ditafsirkan dalam konteks ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal: "suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang diaggapnya penting (vital) ...dan jika dapat menghindari perang atau, jika terpaksa melakukannya, dapat keluar sebagai pemenang. Karena itu, seperti kemudian disimpulkan Arnord Wolfers, masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan. Dengan semangat yang sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopaedia of the Social Science mendefinisikan keamanan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar".
Nexus military-external, dengan negara sebagai subyek, sangat dominan, dalam pendekatan Barat mengenai ke[tidak]amanan. Dalam konsepsi-konsepsi tersebut kekuatan militer selalu dianggap sebagai unsur yang paling penting. Definisi semacam itu dapat dimengerti, terutama dengan mengingat sejarah pembentukan negara-negara Barat yang berangkat dari konsepsi Westpha1ian tentang ‘negara-bangsa’ (nation-state). Hanya sebagian kecil dari mereka yang masih menghadapi persoalan fundamental mengenai formasi dan institusi pengorganisasian negara. Bahkan dalam kasus seperti Quebec di Kanada, upaya untuk meneguhkan identitas kenegaraan dilakukan dengan cara non-kekerasan (non-violent). Konstitusi Soviet, dan kemudian Rusia, mengakui hak pemisahan diri secara damai.
Sebaliknya, dalam konteks negara-negara berkembang definisi itu sukar seluruhnya diterima. Tidak seperti negara-negara Barat yang lebih maju, peninggalan kolonial (colonia11egacy) menyebabkan sebagian dari mereka terlebih dahulu berhasil membentuk negara sebelum berhasil membangun bangsa, sehingga dalam banyak kasus, mereka menghadapi sekaligus tugas ganda bina-bangsa (nation-building) dan bina-negara (state-building). Upaya itu tentu merupakansebuah proyek besar; dan keamanan lebih banyak berkaitan dengan dimensi politik daripada militer.
Pertanyaan paling relevan dalam konteks itu adalah “keamanan terhadap apa, oleh siapa, dan untuk siapa”. Sebagai negara yang dibangun di atas reruntuhan kolonial, dan akibatnya seringkali menghadapi masalah penarikan garis batas arbitrer yang melintasi pembelahan tradisional (suku, agama dan unsur parokia1is lainnya), negara adalah instrumen untuk bina-bangsa. Pluralitas sosial dan kultural menyebabkan negara-negara itu merupakan suatu entitas yang oleh Anderson disebut imagined community. Loya1itas kepada negara bisajadi merupakan prioritas yang lebih rendah dari loyalitas kepada masyarakat tradisionalnya; dan memba1ik prioritas itu bukan merupakan soal sederhana. Tak jarang terjadi konflik kepentingan antara loyalitas kepada masyarakat atau kepada negara. Domain dan scope kekuasaan negara menjadi terbatas. Pemerintah, sebagai perwakilan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan negara, memiliki keharusan untuk memenuhi elemen “kenegaraan yang memadai” (adequate stateness), terutama bagaimana menciptakan perimbangan antara kemampuan menggunakan kekerasan (coercive capacity), kekuatan infrastruktural (infrastructural power), dan legitimasi tanpa-syarat (unconditional legitimacy).
Kerap kali situasi itu menimbulkan masalah serius. Di satu sisi, diperlukan mobilisasi resources dan kecanggihan politik tertentu untuk bisa mempertahankan diri sebagai suatu entitas politik yang diterima dan diakui sebagai entitas yang memiliki otoritas atas rakyatnya. Di lain pihak, seringkali hal ini juga menjadikannya vulnerable terhadap tekanan pihak luar (negara yang lebih besar, lembaga-lembaga internasional dan transnasional), kelompok separatis dan gerakan supranasional. Sebagai negara yang selalu dilibat masalah binanegara, dan sebagai pendatang baru dan lemah dalam masyarakat internasional, security problematicue mereka adalah bagaimana memantapkan kenegaraannya dan seka1igus memainkan peran tertentu dalam masyarakat internasional.
Ancaman yang dihadapi oleh negara-negara berkembang jauh lebih majemuk dibanding yang harus dihadapi negara-negara maju. Selain menghadapi ancaman luar terhadap wilayahnya, sebagian besar negara-negara berkembang menghadapi tantangan untuk memantapkan bangunan negara. Ketika, seperti dikemukakan sebelumnya, ancaman luar bukan satu-satunya ancaman atau dalam kasus sebaliknya menyangkut wilayah-wilayah yang non-defendable, dan ketika legitimasi kepemimpinan politik lebih banyak disandarkan pada kontrak sosial yang secara reguler dipertanggujawabkan melalui pemilihan umum, ketika itu “keamanan untuk siapa” (whose security) menjadi persoalan yang relevan. Dalam konteks ini, beberapa pengamat menuntut pembedaan antara keamanan negara, regime, societal, dan/atau individual. Upaya belanegara seringkali mengalami penyempitan arti menjadi bela regime dan/atau bela pemerintahan. Komplikasi pertama bagi konsep keamanan adalah bahwa belanegara seringkali harus dilakukan dengan tindakan-tindakan yang secara moral bertentangan dengan perlindungan bagi masyarakat. Upaya untuk “menjaga ketertiban dan melindungi keamanan negara” seringkali harus dilakukan justru dengan kebijakan yang bertentangan dengan semangat “menciptakan kesejahteraan dan melindungi kepentingan rakyat”.
Komplikasi kedua berasal dari diskursus kontemporer yang memberikan definisi keamanan secara fleksibel dan longgar, dengan memasukkan unsur dan perspektif yang tidak terdapat dalam diskursus tradisional. Bagi Caroline Thomas dan Jessica Mathews, misalnya, keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut realitas global. Keamanan, menurut Thomas dan Mathews,bukan hanya terbatas pada dimensi militer, seperti sering diasumsikan dalam diskusi tentang konsep keamanan, tetapi merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan eksistensi negara ...[termasuk di dalamnya] upaya memantapkankeamanan internal melalui bina-bangsa, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, uang dan perdagangan, maupun melalui pengembangan senjata nuklir.
Dalam diskursus keamanan kontemporer banyak dimensi yang kemudian diperbincangkan dalam rubrik keamanan non-militer, atau non-konvensional (non-conventional threat). Kajian-kajian baru yang kemudian muncul dalam diskursus kontemporer adalah, antara lain, keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security).
Selain itu, dalam diskursus kajian perdamaian (peace studies), dikenal pembedaan antara konsep perdamaian membedakan “perdamaian negatif” (negative peace) dari “peraamaian positif” (positive peace). Konsep pertama, perdamaian negatif, semata-mata concern dengan tidak adanya perang. Pendekatan keamanan (security approach) sangat dominan dalam kajian ini. Doktrin pertahanan dan penangkalan, dengan kekuatan militer sebagai penyangga utama keamanan, menjadi pijakan utama. Dalam konsep kedua, perdamaian positif, yang didefinisikan sebagai tidak adanya kekerasan dan ketidakadilan, kekuatan militer memang bukan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menjawab ancaman. Kemampuan mi1iter hanya satu dari berbagai unsur kemampuan nasional yang bisa berasal dari kekuatan ideologi, ekonomi, politik atau yang lain. Dipercaya bahwa demokrasi berkeadilan (democratic justice) merupak:an pendekatan pokok untuk mengatasi ketidakamanan.
Titik temu antara diskursus kontemporer dan tradisional itu adalah kedaulatan (sovereignty). Namun konsep kedaulatan tersebut kini menghadapi tantangan yang sangat serius. Fenomena globalisasi yang digambarkan dalam berbagai istilah (mulai dari transnational-scene hingga global oukumene) merujuk pada gejala luluhnya tapalbatas (boundary eroding). Kedaulatan menjadi sesuatu yang sangat relatif. Beberapa penemuan di bidang teknologi militer dan komunikasi telah secara berarti mengikis dimensi ruang dan waktu. Dimensi geografis mengalami kontraksi; dan waktu yang diperlukan untuk mengantisipasi ancaman (early warning) menjadi semakin pendek. Berbagai bentuk ancaman, militer maupun non-militer, mempunyai dayatembus (penetrability) yang semakin besar. Difusi ide-ide baru dan muncu1nya senjata-senjata berteknologi tinggi, khususnya yang termasuk dalam wilayah kelabu (grey areas), memperkuat sosoknya sebagai unchallangable threats. Di bidang militer, perbedaan antara senjata defensif dan ofensif menjadi semakin kabur . Miniaturisasi hulu ledak adalah peningkatan dayatahan (defensif) karena dengan demikian mempermudah upaya concealment. Pada saat yang sama, miniaturisasi hululedak juga berarti peningkatan manuverabilitas dan oleh karenanya kemampuan ofensif.
Terlebih lagi, globalisasi menimbulkan berbagai paradox. Ketika lalulintas investasi, komoditi, dan modal merupakan gejala kapitalisme global yang menembus batas-batas antarnegara, parokialisme justru menguat di berbagai belahan bumi. Gaung retrogresi Taliban Afghanistan di negara-negara Asia
Tengah hanyalah contoh paling kontemporer yang dapat disebut untuk menunjukkan betapa agama, dan mungkin juga nilai-nilai parokial yang lain seperti etnisitas, merupakan dimensi yang seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan negara (statecraft). Melalui revolusi teknologi informasi dan komunikasi, parokialisme itu sendiri kini menjadi semacam kekuatan global. Persistensi separatis Irlandia dan Tami1, radikalisasi Hammas dan Yahudi Orthodox di Timur Tengah serta militansi pemberontakan petani Chiapas di Mexico Selatan, eksplosi gerakan mahasiswa di Seoul dan Bangkok dengan mudah dapat menimbulkan demonstration effect di tempat-tempat lain. Otoritas pemerintah dan institusi negara semakin terancam. State-building dan nation-building menghadapi tantangan yang semakin serius, dan defisit keamanan (security deficit), yaitu selisih antara kemampuan nasional untuk menegakkan legitimasi dan otoritas dengan penetrabilitas ancaman.
Postulat pertama adalah bahwa tuntutan atas keamanan komprehensif (comprehensive security), telah menambah komplikasi baru dalam nexus keamanan internal-external. Keamanan adalah bebas dari berbagai bentuk bahaya, kecemasan, dan ketakutan, termasuk bebas dari kemungkinan perang (perdamaian negatif) maupun dari ketimpangan struktural dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya (perdamaian positif). Solusi bagi persoalan ganda yang bersumber pada aras konseptual dan dimensional itu tidak akan pernah dapat diselesaikan tanpa lebih dulu membatasi diri mengenai apa yang harus dibicarakan. Membahas dan memahami keamanan dari sudut menyeluruh (comprehensive) tentu sangat bermanfaat untuk memahami kompleksitas masalah, tetapi seka1igus juga mencampuradukkan berbagai solusi terhadap masalah itu. Selain itu the level of threat dimensi-dimensi itu tidak selalu harus sama. Hampir tidak mungkin menggunakan konsep yang terlalu elastik itu sebagai alat analitikal. Tanpa bermaksud mengurangi arti penting pembahasan yang menekankan pada society-centric model, ketika keamanan individual dan communal menjadi faktor dalam kalkulus keamanan, keamanan nasional tetap dapat didefinsikan secara state-centric, dengan negara sebagai unit politik yang pa1ing penting.
Security Deficit, Threat Assessment and Vulnerability
Seperti terlihat dari penggal “ancaman terhadap keamanan”, keamanan dan ancaman merupakan dua konsep interaktif. Terdapat hubungan terbalik antara keduanya, bahwa meningkatnya ancaman dengan sendirinya menurunkan derajat keamanan. Selain itu hendaknya dipahami bahwa yang paling penting adalah “deficit keamanan” (security deficit), yaitu situasi dimana ancaman terhadap keamanan lebih besar dari kemampuan nasional untuk menghadapi ancaman itu. Kemampuan nasional (nationa1 capability) adalah selisih antara, derajat ancaman dan derajat kerawanan. Kerawanan mempunyai dua dimensi, dimensi eksternal adalah ancaman dan dimensi internal adalah ketahanan. Resilience (ketahanan) mencoba mengaitkan keduanya. Suatu perkiraan ancaman yang rasional akan menggunakan konsep defisit keamanan itu dengan memperhitungkan faktor subyektif dan obyektif.
Postulat kedua adalah bahwa, sekalipun keamanan bersifat komprehensif, namun ada unsur tertentu yang lebih relevan untuk dipersoalkan sebagai perkiraan ancaman. Harus dibedakan antara ancaman langsung dan tidak langsung baik yang berasal dari dalam maupun luar, serta antara ancaman inferensial. Dikotomi langsung-tidaklangsung berkaitan dengan dampak sumber ancaman terhadap dimensi ancaman, sedang dikotomi inferensial bisa terhadap dimensi yang lain. Sebagai contoh adalah ancaman militer terhadap keamanan militer, dan oleh karenanya dimensi pertahanan negara. Ancaman ekonomi terhadap keamanan ekonmi termasuk dalam kategori ini pula. Namun ancaman ekonomi terhadap dimensi pertahanan negara, misalnya, hanya bersifat inferensial.
Security deficit, sebagai selisih antara kemampuan nasional dan penetrabilitas ancaman. Tiga kekuatan besar yang mempengaruhi asessment ini adalah globalisasi, perkembangan teknologi, dan interdependensi. Implikasi globalisasi terhadap keamanan menjadi sedikit jelas jika security ditafsirkan sebagai situasi di mana aktor mampu melindungi segala sesuatu yang menjadi preferensi dan otoritasnya serta mempunyai kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan preferensinya dalam mencapai apa yang dianggapnya sebagai core interest: system preservation dan maintenance. Da1am praktek, hal ini mewujudkan dirinya dalam beberapa bentuk, mulai dari melindungi otoritas (teritorial dan politik), sampai meningkatkan peran internasional. Namun kedau1atan menjadi semakin absurd; dan apa yang selama ini dirumuskan sebagai “keamanan nasional” menurut konsep Westphalian, dengan kedaulatan atas wilayah geografis sebagai unit politik utama, menghadapi tantangan sangat serius.
Barry Buzan mencoba menawarkan dua kriteria pokok, yaitu landasan fisik dan landasan institusional. Menurut Buzan, physical based of the state meliputi penduduk dan wilayah serta segenap sumberdaya yang terletak di dalam lingkup otoritas teritorialnya; institutional based of the state meliputi semua mekanisme kenegaraan, termasuk lembaga legislatif dan eksekutif maupun ketentuan hukum, prosedur dan norma kenegaraan. Keamanan nasional identik dengan “keamanan negara” yang kemudian ditafsirkan sebagai kepemimpinan politik serta segenap pranata penopang kehidupan bernegara (landasan ideologi negara, konstitusi dan lembaga-lembaga tinggi negara).
Bisa dimengerti jika source of threat bisa internal, eksternal atau azymutal. Namun ada instrumen yang efektif untuk menghadapi satu sumber ancaman belum tentu efektif untuk menghadapi ancaman yang berasal dari sumber yang lain. Masalah-masalah internal sepantasnya dihadapi bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan pembangunan ekonomi, rekayasa kultural, institusionalisasi partisipasi politik, dan pencarian ideologi baru yang melintasi batas-batas aliran parokialisme. Perangkat-perangkat lunak keamanan (security software) seperti ini merupakan instrumen pokok untuk legitimasi politik dan kohesi sosial. Elemen demokrasi, dalam aras ekonomi, politik maupun kultural, harus menjadi sandaran pokok upaya seperti itu. Tujuan utama adalah untuk menciptakan keadilan.
Sumber ancaman (source of threat) terhadap apa yang selama ini dikenal sebagai “keamanan nasional” menjadi semakin luas, bukan hanya meliputi ancaman dari dalam (internal threat) dan/ atau luar (external threat) tetapi juga ancaman azymutal yang bersifat global tanpa bisa dikategorikan sebagai ancaman luar atau dalam. Seirama dengan itu, watak ancaman (nature of threat) juga berubah menjadi multidimensional. Ancaman menjadi semakin majemuk, dan tidak bisa semata-mata dibatasi sebagai ancaman militer. Ideologi, politik, ekonomi dan kultural merupakan dimensi yang tetap relevan diperbincangkan.
Kepemimpinan politik mempunyai kewajiban yang besar untuk menjaga keseimbangan antara tuntutan globalisasi kejadian lokal (globalizing local dynamics) dan lokalisasi peristiwa global (localizing global dynamics). Interdependensi kehidupan antar negara telah menyebabkan keputusan nasional tidak dapat mengabaikan situasi eksternal. Salah satu contoh adalah berkembangnya gagasan tentang “domestic intervention”, yang kemudian mengalami eufimisme dengan istilah intervensi konstruktif (constructive intervention) atau “perluasan hubungan” (enhanced interaction), dan berbagai persyaratan politik yang menyertai sebagian besar paket bantuan bilateral maupun multilateral ke negara-negara berkembang. Ruanglingkup kedaulatan menjadi semakin terbatas. Dan di dalam lingkup yang semakin sempit itu, seringkali masih terdapat wilayah yang non-defendable terhadap penetrasi ancaman.
Persoalan lebih penting dari identifikasi ancaman adalah memperkirakan “derajat ancaman” (the degree of threat). Rea1isme dalam perkiraan ancaman itu beranjak dan konsepsi bahwa derajat ancaman adalah deficit antara penetrabilitas (magmtude dan intensity) ancaman dengan kapabilitas (vulnerabilitas dan capability) negara. Kemampuan untuk menghadapi semua itu bukan hanya bertolak dari kemampuan militer, tetapi juga kemampuan element of national power yang lain, termasuk kekuatan organisasional (efektifitas komando dan postur pertahanan). Organisasi dan manajemen serta rantai komando dan akuntabilitas, dan oleh karena itu kewenangan yang jelas antar satuan-satuan keamanan. Harus membedakan dengan jelas tujuan emansipatorik yang terutama dilakukan dalam konteks otoritas teritorial negara bangsa dari tujuan survival against immediate threat yang lebih banyak berkaitan dengan ancaman luar.
Harus dibedakan dengan jelas antara “pertahanan” (defense) dan “keamanan” (security). Segenap aparat pemerintahan (kabinet) bertanggungjawab untuk keamanan; sedangkan militer bertangunggungjawab untuk merumuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan operasi dan taktik pertahanan. Harus didefinsikan dalam konteks vulnerabilitas terhadap internal maupuneksternal yang mengancam atau memiliki potensi untuk memperlemah struktur (teritorial dan institusional) negara dan government regime. Komponen lain, baik ekonomi, ekologikal atau yang lain, hanya akan menjadi bagian integral dari keamanan jika mereka menjadi cukup akut dan terkristalisasi menjadi dimensi politik dan mengancam tapalbatas, institusi negara maupun pemerintahan.
Kekuatan militer adalah satu-satunya unsur di mana prinsip penangkalan dan pertahanan dapat digunakan dengan cermat. Penangkalan militer: kemampuan militer (organisasional dan hardware) untuk menangkal berbagai spektrum ancaman militer pihak luar yang mengancam keutuhan teritorial. Instrumen untuk itu adalah diplomasi untuk membangun sistem kerjasama keamanan yang appropriate dan usaha unilateral untuk melakukan adaptasi doktrinal dan modernisasi kekuatan militer. Strategi: ofensif (mendahului) dan defensif (menyerap kekuatan lawan). Hampir tidak mungkin menggunakan kekuatan kekerasan untuk mempertahankan diri dari gempuran sosial, kultural dan ekonomi dari luar. Maksimal yang dapat dilakukan adalah melindungi potensi ekonomi dan teritori kultural serta sosial. Elemen pokok , tetap wilayah.
National Security. Defense and Defense Dilemma
Perkembangan teknologi, interdependensi merupakan dua gejala utama yang menyebabkan dilema keamanan ini menjadi semakin mungkin harus dihadapi oleh negara-negara yang merancang untuk mengembangkan kemampuan militemya. Defense planning, khususnya sejauh menyangkut doktrin perang dan strategi tempur, harus memperhatikan prinsip bahwa kekuatan militer harus melindungi ancaman terhadap keamanan nasional yang, berasal dari unfair threat of force. Memang, sejarah mencatat berbagai peristiwa ketika kekuatan militer digunakan untuk melindungi keamanan ideologi, politik, ekonomi dan kultural dari ancaman kekerasan. Pertempuran antara pasukan Yunani Kuno menghadapi pasukan Persia di medan laga Marathon dan Salamis, orang-orang Prancis dan pasukan Moslem di France at Tours (tahun 732), pengepungan kota Vienna oleh pasukan Ottoman (tahun 1683), maupun tumbangnya Fascisme Eropa dalam Perang Dunia Kedua. Namun semua itu berlangsung dalam konteks ketika negara adalah suatu self-contained and self-reliant entity dalam elemen-elemen politik, ekonomi, kultural; dan ketika tujuan penggunaan kekerasan, termasuk kekuatan militer, adalah mempertahankan otoritas domestik dari gangguan atau serangan luar.
Kita menghadapi soal serius. Di satu pihak, keamanan nasional menghadapi berbagai spektrum ancaman. Di lain pihak, militer hanya merupakan salah satu kekuatan nasional, yang bersama dengan kemampuan lain membentuk kemampuan nasional (national capability). Pemikiran yang tepat, peyusunan konfigurasi yang tepat merupakan tantangan pokok. Hierarki dan prioritasi ancaman oleh karenanya menjadi penting. Dikotomi eksternal-internal tetap relevan dipertahankan. Tanpa bermaksud mengurangi makna ancaman internal, yang seperti dikemukakan pada bagian lain tulisan ini lebih sesuai dihadapi dengan prinsip-prinsip emansipasi demokratik, ancaman luar harus menjadi pijakan utama. Tentu, bersama dengan itu harus diakui pula bahwa kemenyeluruhan (comprehensiveness) senantiasa diperhitungkan dalam penyusunan prioritas.
The level of threat, misalnya, kemudian menjadi elemen pokok dalam perencanaan. Ancaman militer dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pa1ing ekstrim adalah serangan dan pendudukan, baik dengan tujuan untuk memusnahkan suatu negara, untuk merebut atau menguasai wilayah (perang Prancis-Jerman tahun 1870), maupun mengubah institusi kenegaraan (seperti dilakukan sekutu pada Perang Dunia II terhadap Jerman dan Jepang). Bentuk yang lebih moderat bisa disebabkan oleh keinginan untuk menghukum (punishment), tanpa pendudukan dalam jangka waktu relatif lama, seperti dilakukan Cina terhadap Vietnam pada awal tahun 1979. Di luar kedua bentuk itu masih dapat dilihat bentuk-bentuk ancaman militer terhadap wilayahnegara, seperti non-recognition atau menutup akses. Kekuatan 1aut pada umumnya sangat memainkan peranan penting pada dua kategori terakhir ini.
Seperti halnya ancaman militer, ancaman ideologi dan atau politik dapat muncul dalam berbagai bentuk. Suatu negara mungkin menghadapi ancaman politik dalam bentuk tekanan tertentu untuk mengubah tujuan, bentuk atau struktur institusi-institusi politiknya. Dalam bentuk yang paling ekstrim, ancaman politik ini terutama terjadi jika terdapat perbedaan organizing principle antar negara yang antagonistik. Apa yang dilakukan oleh Libya dan Suriah terhadap beberapa pemerintahan moderat di Timur Tengah (Libanon,Yordan) dan Amerika terhadap rejim-rejim radikal di Amerika Latin dan Karibia (Kuba, Chile, Guatemala, Haiti). Dalam bentuk yang lebih lunak, persyaratan politik yang menyertai segenap bantuan bilateral dan multilateral, mungkin dapat dikategorikan sebagai ancaman politik. Setelah berakhirnya persaingan ideologi kapitalisme-sosialisme, dan ketika ekonomi pasar semakin diterima sebagai menjadi organizing principle, potensi persaingan sistemik di Asia Pasifik kelihatannya tinggal kedua Korea yang masih memenuhi kriteria ini.
Ancaman luar yang tidak kalah penting adalah ancaman ekonomi. Namun berlainan dengan ancaman politik dan militer dari luar, ancaman luar-ekonomi ini agak sukar didefinisikan dengan jelas. Negara hanya merupakan salah satu aktor, yang semakin menurun, dalam kegiatan ekonomi nasional. Kompetisi, dan oleh karenanya juga konflik, memang merupakan sesuatu yang inheren dan natural dalam berbagai aktifitas ekonomi. Selain itu, beberapa gejala kontemporer lebih menyerupai dinamika ekonomi normal daripada benar-benar merupakan ancaman dalam pengertian yang tradisional, baik untuk menguasai wilayah maupun untuk mengubah institusi-institusi negara. Tidak mungkin bisa dijawab dengan memuaskan apakah krisis ekonomi merupakan konspirasi untuk menghancurkan negara Indonesia, atau semata-mata merupakan konsekuensi yang tidak dapat dielakkan dari dinamika ekonomi kontemporer dan penataan ekonomi Inaonesia yang rapuh.
Ekonomi jelas merupakan masalah keamanan nasional yang sangat penting dan mempengaruhi domestic stability, khususnya bagi negara-negara yang kehidupan ekonominya tergantung pada pasokan import bahan baku dan energi,dan/atau perdagangan. Sekalipun demikian, sukar untuk mengatakan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional ini mempunyai implikasi langsung dengan kelangsungan hidup negara. Embargo, pembatasan ekspor, manipulasi harga, penghentian hutang mungkin saja untuk jangka pendek menimbulkan dislokasi sosial, tetapi untuk jangka panjang mungkin membawa konsekuensi positif bagi perkembangan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, ancaman ekonomi luar-bersifat ambiguous, serta tidak memenuhi kriteria cross-boundary, dan pada saat yang sama juga tidak memenuhi kriteria penggunaan kekerasaan. Ancaman ekonomi mungkin baru bisa mempunyai implikasi militer, misalnya jika loss of material itu pada akhirnya akan menyebabkan menyusutnya anggaran atau menutup pasokan logistik yang diperlukan untuk pengembangan atau operasi militer.
Kajian keamanan mengenal dua istilah penting, dilemma keamanan (security dilemma) dan dilemma pertahanan (defence di1emma). Istilah yang pertama, dilema keamanan, menggambarkan betapa upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya dengan mempersenjatai diri justru, dalam suasana anarki internasional, membuatnya semakin rawan terhadap kemungkinan serangan pertama pihak lain. Istilah kedua, dilema pertahanan, menggambarkan betapa pengembangan dan penggelaran senjata baru maupun aplikasi doktrinal nasional mungkin saja justru tidak produktif atau bahkan bertentangan dengan tujuannya untuk melindungi keamanan nasional. Berbeda dari dilema keamanan yang bersifat interaktif dengan apa yang [mungkin] dilakukan pihak lain, dilema pertahanan semata-mata bersifat non-interaktif, dan hanya terjadi dalam lingkup nasional, terlepas dari apa yang mungkin dilakukan pihak lain.
Dilema pertahanan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Pertama adalah hilangnya relevansi kekuatan senjata untuk mencapai tujuan nasional tertentu. Dalam situasi meningkatnya interdependensi, misalnya, suatu negara cenderung untuk menahan diri menggunakan senjata karena hal itu, jika dilakukannya, akan harus membayar mahal, misalnya berupa isolasi internasional. Perdagangan dan investasi mungkin merupakan sesuatu yang vital bagi keamanan nasional suatu negara. Namun hampir tidak mungkin membayangkan suatu negara melakukan tindakan kekerasan (baca: millter) untuk, misalnya meningkatkan ekspor. Globalisasi dan diseminasi ide-ide baru bisa jadi “membahayakan” nilai dasar tertentu yang diakui sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, seperti halnya dalam kasus ekonomi, tindakan kekerasan bukan merupakan cara yang relevan untuk menghadapi gelombang globalisasi.
Kedua, dilema pertahanan juga bisa terjadi jika senjata perkembangan di bidang teknologi modern menjadikan strategi ofensif jauh lebih menguntungkan dibanding strategi defensif. Munculnya jenis-jenis persenjataan modern, seperti pesawat pembom jarakjauh, pesawat stealth, miniaturisasi hululedak, dan teknik pengendalian rudal adalah beberapa contoh dalam kategori ini. Senjata-senjata seperti itu dapat sangat efektif, dan seringkali dapat memiliki daya musnah luarbiasa tanpa harus mengalahkan lawan. Senjata-senjata seperti ini bukan hanya memaksa pemiliknya melakukan serangan pertama, tetapi juga menjadikan sistem pertahanan tradisional yang dirancang untuk perang konvensional tidak lagi efektif. Keamanan nasional, oleh karenanya, memerlukan adaptabilitas yang tinggi dalam bidang doktrin maupun pengembangan sistem persenjataan.
Bentuk ketiga dari dilema pertahanan dapat terjadi jika penggunaan senjata didasarkan pada pemikiran yang tidak konsisten, atau malahan bertentangan, dengan upaya untuk melindungi keamanan nasional. Dilema ini dapat berupa kehancuran ekonomi, ataupun dislokasi sosial dan politik, yang ditimbulkan oleh mobilisasi sumberdaya di luar kemampuan dan kebutuhan nasional. Ia dapat pula berupa kehancuran tanpa batas. Doktrin kehancuran bersama (mutual assured destruction), misalnya, menunjukkan betapa upaya mencegah perang justru dilakukan dengan ancaman menimbulkan korban yang luarbiasa besar di pihak lawan, yang secara moral bertentangan dengan upaya untuk melindungi species manusia. Dilema pertahanan dalam jenis ini terutama timbul karena perkembangan teknologi canggih tidak mustahil dapat meredusir tujuan militer sedemikian hingga “general threat of destruction”, adalah satu-satunya logika untuk melindungi keamanan nasional.
Redifinisi Doktrin, Pembagian Wewenang dan Strategi Pertahanan
Threat, survival dan defence dilemma itu membawa implikasi serius. Pesan yang hendaknya digarisbawahi adalah penggunaan eksesif dari resources tidak boleh. Penggunaan kekerasan untuk menghadapi ancaman harus sepadan. Ancaman tertentu harus dihadapi dengan instrumen tertentu yang sesuai, efektif, efisien, dan tidak menimbulkan dislokasi sosial, ekonomi, politik, ideologi. Security deficit yang timbu1 karena vu1nerabilitas membawa kompleksitas tersendiri. Semuanya bermuara pada satu persoalan besar: perlunya kajiulang terhadap doktrin keamanan dan pertahanan nasional, khususnya sejauh menyangkut “apa yang harus dipertahankan”, “bagaimana untuk mempertahankannya”, dan “siapa yang harus memikul tanggungjawab” itu.
Jawaban atas pertanyaan pertama, apa yang harus dipertahankan, memerlukan suatu kesepakatan politik. Pertimbangan historis, geografis, ideologis dan perkembangan politik kontemporer harus dimasukkan dalam kalkulasi itu. Gravitas hubungan antarnegara pada dinamika ekonomi tidak sepenuhnya menghapus relevansi konteks politik geostrategi. Bagi sebuah negara kepulauan, termasuk Indonesia, melindungi keamanan nasional adalah usaha besar untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan maritim berikut sumberdaya yang berada di dalamnya.
Pada tingkat strategi, bagaimana mempertahankan dari ancaman, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana merumuskan ancaman secara lebih realistik. Untuk waktu yang dapat diperhitungkan ke depan, keamanan terhadap ancaman interna1 masih akan mendominasi pemikiran strategis di Indonesia. Pluralisme sosial, ketimpangan ekonomi, disparitas regional menjadikan upaya bina-bangsa dan bina-bangsa menjadi soal serius. Indonesia adalah suatu entitas politik (negara) yang dibangun di atas fondasi pluralitas. Persatuan Indonesia seperti diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 1928, selama ini lebih direkat oleh common history anti-kolonia1isme. Common history menghadapi kolonialisme kelihatannya perlu dijelmakan dalam wujud yang lebih konkret, misalnya common platform dan komitmen untuk menegakkan keadilan sosia1, dan dengan menggunakan instrumen yang lebih appropriate seperti ketentuan hukum yang demokratik.
Di tengah keharusan untuk mempersiapkan diri terhadap keamanan internal, ancaman militer dari luar merupakan sesuatu yang harus selalu diperhitungkan, sekalipun pada saat yang sama harus diakui pula bahwa untuk beberapa tahun yang dapat diperhitungkan ke depan sukar dibayangkan terjadinya perang dalam pengertian tradisional. Menduduki wilayah asing (occupation) menjadi sesuatu yang secara moral memperoleh gugatan semakin tajam dan secara ekonomis semakin mahal. Konflik bersenjata, jika harus terjadi, kemungkinan besar akan bersifat terbatas, berlangsung dalam waktu singkat, dan menggunakan teknologi tinggi. Amerika Serikat diperkirakan tetap memainkan peranan penting di kawasan Asia Pasifik, baik karena potensi ketidakstabilan di semenanjung Korea, hubungan tradisionalnya dengan Jepang dan Korea Selatan, kekhawatirannya terhadap tampilnya Cina sebagai kekuatan hegemon regional, maupun karena kepentingan ekonominya di kawasan ini. Ancaman militer dari luar terhadap Indonesia kelihatannya akan bersifat ancaman tidak langsung yang terjadi karena ketidakstabiIan regional. Termasuk dalam kategori ini adalah perlombaan senjata yang dapat terjadi karena ketidakstabilan di Semenanjung Korea dan Asia Timur, prospek penyelesaian masalah Taiwan, dan kemungkinan konf1ik tapalbatas.
Masalah pokok, seperti dirumuskan sebagai pertanyaan ketiga, adalah apa cara yang paling efektif dan efisien untuk menghadapi sumber dan watak ancaman-ancaman tertentu. Ancaman internal harus diketahui dengan pasti alasan timbulnya. Gagasan-gagasan, termasuk komunisme dan fundamentalisme religius, tidak pernah secara langsung mempengaruhi tindakan [kekerasan] politik. Menghilangkan deprivasi ekonomi, politik dan kultural. Demokratisasi dalam penggunaan dan pengelolaan sumberdaya, dan distribusi pembangunan. Penghormatan pada budaya lokal. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan yang seharusnya ditafsirkan sebagai komitmen untuk menghormati keragaman, bukan untuk menciptakan keseragaman. Upaya nasional, unilateral, adalah demokratisasi. Pengenda1ian dan resolusi konflik seharusnya semata-mata dilakukan sebagai tindakan polisionil.
Sejauh menyangkut ancaman militer dari luar, tidak diragukan bahwa peningkatan kemampuan militer (modernisasi dan profesionalisasi) merupakan sa1ah satu pilihan. Namun, selain karena pertimbangan ekonomi, peningkatan kekuatan militer selalu mengundang kecurigaan pihak 1ain, terutama jika hal itu dilakukan dengan lebih banyak memberikan prioritas pada modernisasi senjata-senjata ofensif. Dalam suasana anarki dan ketidakpastian, upaya unilateral bisa menimbulkan dilema keamanan (security dilemma) terutama jika upaya unilateral itu berupa penggelaran jenis senjata- senjata ofensif baru. Pengembangan kekuatan militer yang mengarah pada non-provocative defense merupakan salah satu pilihan strategis. Selain itu, di tengah gelombang interdependensi dalam kehidupan antarbangsa, suatu negara tidak bisa mengamankan dirinya dengan mengancam orang lain. Upaya untuk membangun keamanan, oleh karenanya, bergeser dari konsep “security against” menjadi “security with”. Apa yang selama ini dikenal sebagai cooperative security, confidence building measures, dan preventive diplomacy yang dilakukan secara bilateral, regiona1, global, maupun multilateral adalah sebagian dari berbagai upaya menjawab persoalan ini.
kesimpulan:
Demokrasi adalah suatu sistem yang bertumpu pada pembagian kekuasaaan (sharing of power) dan/atau pembagian tanggungjawab (sharing of responsibility). Persoalan siapa yang harus bertanggungjawab untuk menjawab ancaman keamanan tertentu menjadi rumit dan politikal: rumit, karena perkembangan konsep dan ketidapastian setelah berakhirnya Perang Dingin dan politikal, karena landasan konstitusiona1, sejarah, maupun realita politik bisa menjadi kekuatan inersia untuk membangun pola pembagian kerja baru. Salah satu konsekuensi penting adalah perlunya ketentuan yang mengatur level of engagement dan instrumen yang boleh digunakan dalam setiap bagian dari spektrum ancaman terhadap keamanan nasional.